Tidak diragukan lagi bahwa membaca
Al-Qur'an adalah ibadah sangat agung. Banyak nash yang menerangkan akan
besarnya keutamaan dan pahalanya. Di antara yang paling masyhur,
Al-Qur'an akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat.
Disebutkan dalam Shahih Muslim, dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu 'Anhu, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ
"Bacalah oleh kalian Al-Qur'an, karena ia akan datang memberi syafaat kepada pembacanya pada hari kiamat."
Keutamaan membaca Al-Qur'an ini semakin
meningkat saat bulan Ramadhan. Di mana setiap amal kebaikan di dalamnya
dilipatgandakan pahalanya. Terlebih Al-Qur'an pertama kali diturunkan
kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melalui Malaikat Jibril pada bulan Ramadhan. Juga pada bulan ini, Malaikat Jibril mendatangi beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an beliau dan mengecek hafalannya.
Keistimewaan ibadah membaca Al-Qur'an di
bulan Ramadhan ini kita temukan pada perhatian besar dari ulama salaf
terhadapnya. Mereka memperbanyak tilawah Qur'an baik di dalam shalat
maupun di luar shalat.
Pada bulan Ramadhn, Utsman bin Affan radliyallah 'anhu
menghatamkan Al-Qur'an sehari sekali. Sebagian ulama salaf yang lain
menghatamkannya pada shalat malamnya setiap tiga hari sekali. Sebagian
lain menghatamkannya semingu sekali.
Imam Syafi'i rahimahullah, pada
bulan Ramadhan menghatamkan Al-Qur'an sampai 60 kali. Beliau membacanya
di luar shalat. Imam Qatadah senantiasa menghatamkan setiap tujuh hari
sekali dan pada bulan Ramadlan setiap tiga hari sekali. Puncaknya pada
sepuluh hari terakhir, beliau menghatamkannya setiap malam.
Imam Az-Zuhri rahimahullah jika
sudah memasuki Ramadhan tidak membaca hadits dan tidak hadir di majlis
ilmu, beliau hanya membaca Al-Qur'an dari mushaf. Sufyan Al-Tsauri jika
sudah masuk Ramadhan meninggalkan segala bentuk ibadah dan hanya membaca
Al-Qur'an.
Ibnu Rajab rahimahullah
berkata: "(Maksud) adanya larangan membaca Al-Qur'an (menghatamkannya)
kurang dari tiga hari yaitu jika dirutinkan tiap hari. Namun, jika di
kesempatan yang utama seperti bulan Ramadlan dan tempat yang mulia
seperti di Makkah bagi penduduk luar makkah, dianjurkan memperbanyak
tilawah Al-Qur'an di sana, untuk menghargai kemuliaan tempat dan waktu
tersebut. Ini adalah pendapat imam Ahmad, Ishaq, dan imam-imam lainya.
Hal ini didukung dengan amalan selain mereka."
Kesalahan Dalam Membaca Al-Qur'an
Agungnya ibadah tilawatul Qur'an di
bulan mulia ini terkadang tidak dibarengi dengan pengetahuan cukup dari
pembacanya. Karena semangat memperbanyak qira'ah dan mengejar hatam
berulang, banyak dari mereka yang jatuh dalam kesalahan saat
membacanya. Di antaranya, membaca Al-Qur'an tanpa menggerakkan lisan dan
menimbulkan bunyi bacaan. Membacanya dengan hanya melihat mushaf dan
membolak-baliknya. Di antara alasannya, membaca dengan hatinya.
Sesungguhnya membaca Al-Qur'an yang
benar sesuai ketetapan syariat sehingga diberi janji pahala sapuluh
kebaikan pada setiap hurufnya -sebagaimana petunjuk hadits shahih-
adalah membacanya dengan menggerakkan lisan dan kedua bibir walaupun
hanya menghasilkan suara yang sangat lirih yang hanya bisa didengar oleh
dirinya sendiri. Karena hakikat dari membaca secara istilah adalah
mengeluarkan bunyi dengan lisan. Sehingga orang yang diam tidaklah
disebut qari' (membaca). Karenanya disebutkan dalam hadits shahih,
أَنَا مَعَ عَبْدِي إِذَا هُوَ ذَكَرَنِي وَتَحَرَّكَتْ بِي شَفَتَاهُ
"Aku bersama hamba-Ku selama ia mengingatku dan bergerak kedua bibirnya menyebut (nama)-Ku." (HR. Ibnu Majah , dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Membaca Al-Qur'an yang syar'i haruslah
dengan mengucapkannya. Tidak cukup dengan hati semata. Sementara melihat
mushaf sambil membolak-baliknya tanpa mengucapkan sesuatu, maka ini
bukan tilawah. Itu masuk dalam bagian bab tafakkur dan tadabbur. Memang
di dalamnya ada pahala, tapi ia tidak mendapatkan janji dalam hadits
tentang keutamaan membaca Al-Qur'an.
Maka dalam ibadah membaca Al-Qur'an,
seseorang harulah mengucapkan huruf-hurufnya sehingga ia tidak terlewat
dari mendapatkan pahalanya yang besar. Dan inti dari mengucapkan adalah
menggerakkan dua lisan walaupun tidak menimbulkan suara yang keras. Ini
merupakan pendapat mayoritas ulama.
Imam Malik rahimahullah ditanya
tentang orang yang membaca di dalam shalatnya, bacaannya tidak
terdengar oleh orang lain dan tidak pula oleh dirinya sendiri dan ia
tidak menggerakkan lisannya. Beliau menjawab: "Ini bukan membaca,
sesungguhnya membaca adalah dengan menggerakkan lisan."
Ibnu al-Hajib rahimahullah berkata,
"Tidak boleh membaca lirih tanpa menggerakkan lisan, karena jika ia
tidak menggerakkan lisannya berarti ia tidak membaca, ia hanya hanya
bertafakkur (merenungi)."
Al-Kasani rahimahullah berkata,
"Membaca tidak bisa kecuali dengan menggerakkan lisan dalam mengucapkan
huruf. Tidakkah engkau lihat, orang shalat yang mampu membaca apabila
ia tidak menggerakkan lisannya dalam mengucapkan huruf maka tidak sah
shalatnya. Begitu juga, kalau ia bersumpah tidak membaca satu surat dari
Al-Qur'an, lalu ia melihatnya dan memahaminya serta tidak menggerakkan
lisannya maka ia tidak menyalahi (melanggar) sumpahnya."
Penutup
Niat baik untuk memperbanyak Qira'atul Qur'an dan mengejar hatamnya
secara berulang sering membuat seseorang mengabaikan adab dan tatacara
membaca Al-Qur'an yang benar. Salah satunya, membacanya dengan tidak
menggerakkan lisan dan mengomat-kamitkan kedua bibir sehingga keluar
bunyi, minimal bisa didengar sendiri. Padahal disebut membaca, kalau
dibarengai dengan menggerakkan lisan dan kedua bibir sehingga keluar
bunyi, minimal bisa didengar oleh diri sendiri. Sedangkan sebatas
melihat mushaf dan membolak-balikkannya tidaklah disebut bagian dari
ibadah tilawatul Qur'an atau qiratul Qur'an. Wallahu Ta'ala A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ditunggu komentarnya ya sobat... kalo belum punya blog, isi dengan nama sobat saja... URL nya bisa dikosongkan.. thank...