Laman

Minggu, 26 Februari 2012

Pertarungan Haq dan Batil Semakin Sengit, Maka Istiqamahlah!

Berkacalah pada Mesir. Pertarungan pemikiran antara hak dan batil semakin sengit dan seru. Para ulama di negeri itu tampil sebagai pembela Islam, baik yang formal seperti Al-Azhar, maupun personal. Sebagai lembaga yang cukup disegani, Al-Azhar telah lama berjuang menghadang arus sekularisme.

Al-Azhar, melalui badan ilmiahnya yang cukup bergengsi di dunia, Majma’ Al Buhuts Al-Islamiyah (Pusat Penelitian Islam), pernah mengadili Ali Abdul Razaq dalam sebuah pengadilan yang dihadiri lebih dari 20 ulama, karena bukunya Al-Islam wa Ushul Al-Hukm yang controversial itu.

Buku ini sempat membuat geger dunia Arab karena isinya menafikan adanya sistem politik dan pemerintahan dalam Islam. Pengadilan itulah yang memutuskan dicabutnya seluruh ijazah Al-Azhar yang pernah diberikan kepada Ali Abdul Razaq. Yang bersangkutan juga diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim di Mahkamah Syar’iyah di Mesir.

Senasib dengan Ali Abdul Razaq, Nasr Abu Zeid (seorang professor Fakultas Sastra Universitas Kairo) juga dihadapkan sanksi yang sama, buku-bukunya dilarang peredarannya. Nasr Abu Zeid memang dipengaruhi oleh gurunya, Hasan Hanafi, yang mengajar filsafat pada fakultas dan perguruan tinggi yang sama.

Yang menarik, Prof. Abdussobur Shahin dari Fakultas Darul Ulum, Kairo, yang menjadi ketua panitia penilai karya-karya Nasr Abu Zeid, dalam putusannya menyatakan Nasr Abu Zaid tidak layak menjadi guru besar karena karya-karyanya tidak ilmiah. Sejak itu, kasus ini menjadi isu nasional, bahkan internasional. Didukung jaringan sekularisme di kampus dan pemerintahan, Nasr Abu Zeid dikukuhkan juga menjadi guru besar.

Ulama tidak kehabisan akal. Al-Azhar bersama dengan ulama di luar Al-Azhar menempuh jalur hukum. Mereka mengajukan somasi ke pengadilan. Dilengkapi dengan data dan fakta ilmiah dari tulisan-tulisan Abu Zeid atas keluarnya dari Islam, ulama menuntut agar pengadilan memutuskan ia dan istrinya harus dipisah (fasakh). Tuntutan itu dikabulkan dan akhirnya, Nasr Abu Zeid melarikan diri ke Leiden, Belanda. Di sana, ia menjadi guru besar Islamic Studies dan membimbing sarjana-sarjana asal Indonesia. Dikabarkan, pada tahun 2007, Nasr Abu Zeid pun ditolak kehadirannya oleh umat Islam Indonesia untuk menjadi narasumber di sebuah kampus di Riau dan Malang.

Tantangan Dakwah di Indonesia

Di negeri ini, pertarungan serupa dapat ditemukan di pentas pemikiran, walaupun tidak seseru yang ada di Mesir. Tahun 70-an, Nurcholish Madjid telah melemparkan ide sekulernya. Lalu, hal tersebut ditanggapi oleh sejumlah intelektual Muslim, seperti Endang Saifudin Anshari, Prof. H.M Rasyidi dan lain-lain.

Mendiang Munawir Sadzali juga pernah melempar ide controversial seputar hukum waris, namun hal itu dijawab oleh kalangan intelektual, seperti Rifyal Ka’bah dari Partai Bulan Bintang (PBB). Tahun 1992, Nurcholis Madjid kembali melempar bola panas seputar ahlul kitab, makna agama, jilbab dan ide lainnya. Ia mendapat perlawanan keras di Masjid Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh cendekiawan muslim, seperti Ridwan Saidi, Ustadz Daud Rasyid, dan sebagainya.

Setelah itu muncul generasi baru dari kalangan JIL (Jaringan Islam Liberal), seperti: Ulil Abshar Abdalla, Guntur Romli, dan Abdul Moqsith Ghazali. Mereka harus berhadap-hadapan dengan Ustadz Adian Husaini, Adnin Armas, Hamid Zarkasyi, Nirwan Safrin dan sebagainya (dari INSIST) untuk mengcounter pemahaman sepilis. Kini, kaum JIL dan konco-konconya mendapatkan perlawanan tangguh dari Front Pembela Islam (FPI) yang didukung oleh kaum muslimin di Indonesia.

Inilah tantangan dakwah, yang tak selalu berjalan mulus. Diperlukan ilmu, siyasah (strategi), keberanian, jaringan, kesabaran, dan istiqamah. Dakwah yang hanya mengajarkan pembersihan jiwa dan acara-acara ritual belaka, nyaris tidak mendapatkan tantangan dan lawan yang tangguh mendukung kebatilan.

Andaikan Rasulullah Saw hanya sekedar mengajarkan pembersihan jiwa kepada kaum Quraisy, atau mengajarkan praktik ibadah formal, niscaya tidak akan ditentang oleh Abu Lahab, Abu Jahal, dan sekutu-sekutunya. Namun, karena dakwah Nabi Saw mengandung makna perombakan tatanan, penghancuran ideology jahiliyah, dan membangun sistem baru, maka kaum kafir Quraisy akhirnya mati-matian menghadang dakwah itu.

Apa pasal? Mereka merasa dakwah Rasullah Saw ini adalah ancaman eksistensi ideology dan sistem kekuasaan mereka yang sudah mapan. Itulah sebabnya, kaum kafir Quraisy melakukan perlawanan sengit terhadap dakwah Nabi Saw. Pada prinsipnya, tiada zaman yang sepi dari musuh-musuh Islam, dulu maupun sekarang. Hal itu dibenarkan dalam Al Qur’an: “Dan begitulah, Kami jadikan di setiap negeri itu penjahat-penjahat kelas beratnya.”

Kini, musuh-musuh Islam itu gemetar, frustasi, dan mundur ke belakang. Tapi, perjuangan belum usai. Pertarungan antara hak dan kebatilan masih terus berlangsung hingga detik ini. Maka, bersabarlah, tetap istiqamah, dan yakinlah bahwa pertolongan Allah sangat dekat.

Sumber www.voa-islam.com
Read More..

Kamis, 23 Februari 2012

Etika Saat Membicarakan Harta Warisan

Adalah wajar, untuk mengingatkan anggota keluarga kita agar mendirikan sholat. Ibu yang mengingatkan anaknya, suami yang mengingatkan isterinya, atau anak yang menyadarkan orang tuanya. Kendati tak setiap peringatan itu diindahkan, meskipun kadang peringatan-peringatan itu justru di mentahkan, namun adalah wajar untuk mengingatkan anggota keluarga kita agar bersholat.

Demikian pula, sama wajarnya ketika kita mengingatkan keluarga kita untuk berzakat dan bersedekah, menyisihkan harta yang menjadi bagian saudara yang diuji dengan kekurangan. Meskipun terkadang ada anggota keluarga kita yang tak rela, yang tak mampu akalnya untuk mencerna perhitungan kebaikan yang ditambah sepuluh kali lipat itu, namun tetap saja kita masih diberi kemudahan untuk mengingatkan tentang kewajiban itu.

Tak mudah meluruskan anak gadis, atau isteri, serta seorang bunda yang sudah terlanjur terdidik dengan budaya pop, atau budaya lain yang asing dengan syariat untuk merapikan auratnya. Namun masih wajar jika kita mengingatkan untuk menutupkan jilbab bagi auratnya, melonggarkan pakaiannya. Walaupun penolakan dan pengacuhan yang terjadi, seringnya kita tak menyerah untuk mengingatkan.

Dan beruntunglah kita, menjadi seorang pengingat, menjadi da’i bagi keluarga. Bagaimana dengan mudahnya kita mengingatkan dan memperingatkan ketentuan-ketentuan syariat kepada insan-insan terkasih, keluarga kita. Ketika kita lidah tak lagi kelu untuk berucap kebenaran – meski tak selamanya diterima dengan suka cita oleh keluarga kita, maka bersyukurlah atas kemudahan itu.

Namun ternyata, di tengah ringannya lidah untuk membincang syariah itu, masih ada hal penting yang sering terlewat oleh banyak da’i di lingkungan keluarga. Entah mengapa budaya yang kuat menghujam serta preseden yang buruk begitu menutup pintu-pintu pembicaraan tentang syariat yang satu ini, waris!

Syariat yang terlanjur dibingkai dalam sebuah kata “tabu”. Waris, sebuah hal yang sulit diperbincangkan, meskipun dengan keluarga yang terdekat. Membincangkannya bisa memunculkan banyak arti: konspirasi, keserakahan, ketamakan, dendam, perebutan harta, dan lain sebagainya. Paling tidak itulah yang terjadi pada manusia zaman ini.

Seorang anak yang membincang waris dalam keadaan ayahnya yang kurang sehat, bisa jadi dicap sebagai anak durhaka yang sedang menanti kematian sang ayah demi harta yang melimpah. Seorang isteri yang membincang waris kepada suaminya yang lanjut usia, bisa saja dicap sebagai pemburu harta, yang mingkin akan langsung menikah dengan berondong begitu habis umur sang suami tua.

Seorang anak yang membincang tentang warisan ayahnya kepada ibunya yang baru saja menjadi janda, kemungkinan besar akan mendapat murka dari sang bunda, “Kuburan bapakmu saja belum kering!” Lantas beberapa masa setelah masa iddah, sang bunda menikah, menjadikan seluruh warisan suami terdahulunya menjadi harta bersama suami yang baru. Ia lupa untuk membagi bagian-bagian putera dan puterinya. Anak yang membincang tentang warisan itu pun tak dapat bagian, dan lagi masih saja dicap anak durhaka.

Warisan jelas posisinya, ia berada dalam bingkai syariat islam. Pembagiannya bahkan jelas sekali diatur dengan perhitungan matematis yang pasti oleh Allah dalam Al Quran (An Nisa 11,12,176). Rincinya perhitungan waris yang matetamis itu menunjukkan betapa pentingnya hukum yang satu ini. Hukum waris adalah hukum yang bersifat memaksa, sebagaimana syariat-syariat yang lain dalam islam yang kadar hukumnya adalah wajib. Melanggar atau tidak melaksanakan kewajiban dalam syariat tanpa uzur tentu saja memiliki implikasi berupa dosa.

Ketika melihat sebuah perecahan dalam sebuah keluarga di luar keluarga kita karena warisan, – perebutan harta, permusuhan, bahkan pembunuhan maka dengan bijaknya kita memilih untuk bersikap santun. Ya, berapa banyak muslim yang berakhlak justru mengabaikan warisan karena kenyataan tentang pembagian warisan pada keluarga lain nampak pahit. Diam tanpa membincang warisan dirasa lebih menentramkan kondisi keluarga, daripada harus menyampaikan sebuah ketentuan dari langit, dari Allah. Bukankah syariat itu lebih utama? Maka harusnya santun bukan pilihan!

Hukum waris dalam islam seolah menjadi sebuah bagian yang tertutup kabut kelabu yang menggulung tebal dalam sebuah kitab suci yang penuh cahaya. Sebuah syariat yang memaksa lisan untuk senyap, dibanding syariat-syariat lain yang begitu mudah untuk dieksekusi dalam dakwah sehari-hari. Memanglah, Rasulullah pun telah memperingatkan, “Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid (waris) dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. ” (HR Daruquthni).

Maka jelaslah dari hadits Nabi, waris adalah ilmu yang akan hilang dari muka bumi. Dan tanda tanda kehilangan ilmu itu telah tertampak pada hari ini. Hari-hari dimana manusia, bahkan diantaranya da’i-da’i tak lagi mampu membincang waris kepada ahli keluarganya. Lalu relakah kita, jika seandainya peringatan Rasulullah tentang hilangnya ilmu itu terjadi pada masa kehidupan kita, pada zaman kita?

Ayahanda, Ibunda, Isteri dan anak-anak kita. Bincangkan kepada mereka apa yang seharusnya berlaku atas harta yang akan mereka tinggalkan nanti. Utarakan kepada mereka bagaimana seharusnya mereka memperlakukan harta peninggalan kita nanti.

Sampaikan kepada isteri tercinta, bukan seluruh harta kita yang akan terwaris baginya, ada bagian-bagian lain sesuai ketentuan dien. Paparkan kepada anak kita, bahwa alqur’an adalah pedoman utama. Katakan secara perlahan kepada ayah atau bunda, agar tak sakit perasaannya, agar tak tersalah memahami perkataan anaknya. Bukan harta yang ananda mau, namun semata-mata agar Allah tak murka atas syariat yang tak terlaksana oleh ayah dan bunda.

Mari kita membincang waris, agar tak lekas terangkat ilmu ini. Agar tunai kewajiban kita menyampaikan syariat. Supaya orang-orang terkasih yang telah mendahului kita tak mendapat azab sebab mempusakakan harta tak sejalan dengan perintahNya.

Bincanglah selancar kita membincang hijab, zakat, shalat, puasa, dan segala hal yang biasa kita sampaikan kepada keluarga terdekat kita.

Wallahua’lam bisshowwab

Sumber www.fimadani.com
Read More..

Selasa, 21 Februari 2012

Bertaubat, Lalu Bermaksiat Lagi Dengan Dosa Serupa

Ada seorang wanita terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Lalu ia menyesalinya sehingga hal itu menimbulkan gejolak dalam jiwanya. Kemudian ia bertaubat, menyesal dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Tetapi, di lain waktu ia terjerumus kembali dalam perbuatan maksiat serupa untuk kedua atau ketiga kalinya. Sehingga lama kelamaan tidak lagi ada rasa menyesal dan gejolak dalam dirinya sebagaimana yang dahulu. Tetapi ia masih tetap melazimi taubat sesudah mengerjakan maksiat tersebut, walaupun tidak ada rasa penyesalan lagi. Ia sangat sadar dan paham, taubat tidak akan diterima kecuali terpenuhi syarat-syaratnya, di antaranya adalah penyesalan. Jika demikian bagaimana hukum taubat semacam ini? Apakah taubatnya bisa diterima? Apa yang harus dia lakukan?

Sesungguhnya kewajiban bagi seseorang yang sudah terjerumus ke dalam perbuatan maksiat agar ia menyesalinya, yakni dengan penyesalan yang sesungguhnya atas perbuatannya yang telah dikerjakannya itu. Ia bertekad untuk meninggalkannya dengan sepenuhnya karena takut kepada Allah dan bentuk pengagungan kepada-Nya. Lalu ia tanamkan dalam dirinya untuk tidak mengulanginya kembali jika datang situasi dan kondisi serupa. Di samping itu ia beristighfar dan meminta ampun kepada Allah atas kekhilafannya. Jika demikian kondisinya, pastilah Allah akan mengampuni kesalahannya tersebut.

Jika ternyata ia terjerumus kembali ke dalam perbuatan maksiat serupa untuk kedua kalinya, maka ia telah melakukan dosa yang baru. Sementara dosanya yang lalu yang ia sudah bertaubat darinya dengan taubat tulus telah terhapus dan hilang. Namun tetap baginya untuk bersungguh-sungguh dan jujur untuk tidak terjerumus kembali. Yang perlu juga dilakukan, ia senantiasa meminta pertolongan dan taufiq kepada Allah Ta'ala. Tidak perlu ia menyiksa diri dan merana berkepanjangan karena maksiat yang telah diperbuatnya. Hendaknya ia mengingat berita gembira bagi orang-orang yang bertaubat, di antaranya firman Allah Ta'ala:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. Al-Nuur: 31)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ

"Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. . . " (QS. Al-Tahrim: 8)

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

"Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar : 53)

Dalam ayat di atas, Allah 'Azza wa Jalla menjanjikan taubat dan ampunan kepada hamba-hamba-Nya apabila mereka bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya dengan tulus dan penuh penyesalan. Dalam ayat di atas juga terdapat larangan berputus asa dari rahmat Allah, bahwa Dia pasti akan mengampuni dosanya. Sedangkan Allah adalah tidak akan bohong dalam janji-Nya.

Dalam khazanah hadits Nabawi juga terdapat banyak keterangan tentang keutamaan taubat dan pahala besar yang ada di dalamnya. Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri Radliyallah 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

"Sungguh Allah 'Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk merima taubat pelaku dosa di siang hari, dan akan membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat pelaku dosa di malam hari." (HR. Imam Muslim)

Diriwayatkan dari Rifa'ah Al-Juhni, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ مِنْ اللَّيْلِ نِصْفُهُ أَوْ ثُلُثَاهُ قَالَ لا يَسْأَلَنَّ عِبَادِي غَيْرِي مَنْ يَدْعُنِي أَسْتَجِبْ لَهُ مَنْ يَسْأَلْنِي أُعْطِهِ مَنْ يَسْتَغْفِرْنِي أَغْفِرْ لَهُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

"Sungguh Allah akan memberi tangguh, sehingga berlalu setengah atau sepertiga malam, lalu berfirman: 'Hambaku tidak meminta kepada selain-Ku, maka siapa saja yang berdoa kepada-Ku pasti kan Ku kabulkan, siapa saja yang meminta kepadaku pasti kan kupenuhi permintaannya, siapa saja yang memohon ampun pada-ku pasti kan kuampuni sehingga terbit fajar'." (HR. Imam muslim dan Ibnu Majah)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radliyallah 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

"Sungguh Allah sangat gembira dengan taubat hambanya ketika bertaubat kepada-Nya, melebihi senangnya seorang hamba yang bepergian dengan kendaraannya di sebuah negeri yang gersang, lalu kendaraannya tadi hilang, padahal bekal makan dan minumnya berada di atasnya, lalu ia patah harapan untuk mendapatkannya, lalu ia berteduh di bawah pohon dengan diliputi kekecewaan. Ketika seperti itu, tiba-tiba kendaraannya berdiri di sampingnya, lalu ia pegang tali kendalinya, kemudian berkata dengan gembiranya : "Ya Allah, Engkau adalah hambaku sedangkan akku adalah tuhan-Mu!! Dia telah melakukan kesalahan karena terlalu gembira." (HR. Muslim)

Sebenarnya ia ingin berkata: "Ya Allah, Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu". Tapi, lidahnya terbalik seperti di atas karena kegembiraan yang luar biasa. Maka Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraannya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radliyallah 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

لَوْ أَخْطَأْتُمْ حَتَّى تَبْلُغَ خَطَايَاكُمْ السَّمَاءَ ثُمَّ تُبْتُمْ لَتَابَ عَلَيْكُمْ

"Seandainya kalian semua melakukan kesalahan (dosa), sehingga dosa kalian mencapai setinggi langit, kemudian kalian bertaubat pasti Allah akan mengampuni kalian." (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam al-Shahihah: 2/604)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radliyallah 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

"Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang mau bertaubat." (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam al Misykah dan shahih sunan Ibni Majah)

Diriwayatkan dari Abu Ubaidah bin Abdillah dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

التَّائِبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ

"Orang yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak memiliki dosa." (HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi)

Maka kewajiban atas orang mukmin yang berdosa, termasuk wanita di atas, adalah bertaubat dengan jujur dan tulus, menyesal dan meninggalkan perbuatan maksiat yang ia bertaubat darinya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, merendahkan diri kepada Allah dalam meminta taufiq dan terbebas dari maksiat itu. Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Maha Pemurah bagi siapa yang sungguh-sungguh memohon dan berdoa kepada-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu Ta'ala A'lam.

Sumber www.voa-islam.com
Read More..

Senin, 20 Februari 2012

Dampak Buruk Akibat Ambisi Terhadap Kekuasaan

Terhadap Pribadi Aktivis

Orang-orang yang terlalu berambisi terhadap kepemimpinan dan mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin, pada umumnya memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat berebihan, sekaligus menyepelekan peran orang lain, serta bantuan dan pertolongan Allah. Padahal telah menjadi sunatullah bahwasanya Allah Ta'ala tidak akan memberikan bantuan dan pertolongan kepada para hamba-Nya yang bersikap semacam itu.

Menjerumuskan Diri Sendiri ke Dalam Fitnah dan Murka Allah

Orang yang menginginkan kekuasaan dan jabatan diumpamakan sebagai orang yang tengah meletakkan dirinya pada tempat berhembusnya angin fitnah. Orang yang dalam melaksanakan kekuasaannya tidak tidak mendapat pertolongan dan bimbingan Allah,maka mudah baginya berlaku zalim dan bertindak sewenang-wenang. Jika dia berbuat seperti itu, maka berarti dia mengundang murka Allah Ta'ala.

Alangkah indah gambaran yang disampaikan oleh Rasulullah shallahu alaihi wassalam mengenai hal itu. Sabda beliau:

"Sungguh kalian akan berambisi kepada kekuasaan. Hal itu kelak akan menjadi penyesalan pada hari kiamat. Baik sekali wanita yang menyusui anaknya dan buruk sekali wanita yang menyapih anaknya".

Berlipatgandanya Dosa dan Tanggungan

Seorang pemimpin pada dasarnya adalah seorang penutan. Oleh karena itu, semua tingkah lakunya, yang baik maupun yang buruk, kelak akan ditiru oleh para pengikutnya. Jika tingkah lakunya buruk ditiru, maka secara tidak sadar dia ikut menjerumuskan orang lain ke dalam lembah dosa. Di akhirat nanti, selain menanggung dosa pribadinya, dia juga akan menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya itu. Maha benar Allah dalam firman-Nya:

لِيَحْمِلُواْ أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُم بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلاَ سَاء مَا يَزِرُونَ ﴿٢٥﴾

"(Hal demikian), menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa oang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). (QS. An-Nahl [16] : 25)

Sabda Rasulullah shallahu alaihi wassalam:

"Barangsiapa yang menciptakan kebiasaan buruk dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya berikut dosa orang yang mengerjakan setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitipun."(HR. Muslim)

Terjadinya Peperangan dan Pengusiran atau Eksodus

Ambisi terhadap kekuasaandan jabatan dapat mengakibatkan kudeta, pertikaian, dan peperangan atau pengusiran (eksodus), yaitu berpindahnya rakyat secara besar-besaran dari kampung halaman atau negeri mereka.

Terhadap Amal Islami


Salah satu dampak buruk dari ambisi kekuasaan dan jabatan terhadap amal Islami yaitu akan semakin beratnya beban dan bertambah panjangnya perjalanan dakwah yang dilakukan, karena suatu amal Islami tidak mungkin berjalan dengan baik, jika para pemimpinnya bersikap ambisius atau ingin selalu menjadi pemimpin, sehingga amal Islami akan mudah dilanda kegagalan dan terhalangdari pertolongan Allah.

Firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ ﴿٤٠﴾

"Sesungguhnya Allah akan menolong orang yang menolong (agama) Nya."(QS. al-Hajj [22] : 40)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ ﴿٧﴾

"Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan pendirian kalian". (QS. Muhammad [47] : 7)

Para pendahulu umat ini -radhiallahu 'anhum- telah mengantisipasi hal itu sejak dahulu. Jika mereka mengalami keterlambatan dalam memperoleh kemenangan di medan juang, maka mereka akan segera melakukan instrospeksi diri, jangan-jangan penyebab keterlambatan datangnya pertolongan Allah itu akibat oleh sikap cinta dunia.

Kemudian mereka segera bertobat dan kembali kepada Allah. Setelah itu kemenangan pun segera mereka peroleh.

Kisah dibawah ini merupakan gambaran yang jelas mengenai hal itu.

Ketika pasukan yang dipimpin oleh Amr Ibnul Ash terhambat membebaskan negeri Mesir dari kaum kafir, maka ia mengirimkan pasukan tambahan. Khalifah Umar kemudian mengirimkan pasukan tambahan. Khalifah Umar ibnul Khaththab kemudian mengirimkan pasukan tambahan sebanyak empat ribu orang. Jadi selulruh pasukan berjumlah delapan ribu orang. Setiap seribu orang dipimpin seorang komandan.

Khalifah Umar menulis surat kepada Amru ibnul Ash, "Saya mengirim pasukan tambahan dengan komandan yang nilainya sama dengan seribu orang. Mereka itu adalah az-Zubair ibnul Awwam, Miqdaad ibnul Amru, Ibaadah ibnush-Shamit, dan Maslamah bin Mukhallad. Ketahuilah wahai Amru ibnul Ash, engkau saat ini berserta dua belas ribu pasukan. Jumlah yang tidak mungkindapat dikalahkan oleh musuh karena alasan sedikit".

Akan tetapi, ketika bala bantuan itu sampai, kemenangan tak jua kunjung datang. Oleh karena itu, Khalifah Umar mengirimkan sepucuk surat kepada panglima perang Amru ibunul Ash. Bunyi surat itu sebagai berikut :

"Amma ba'du."

"Aku heran akan kelambatanmu merebut negeri Mesir. Padahal, kalian telah berperang dalam waktu lama. Semua itu tidak terjadi, kecuali karena perbuatan kalian sendiri, dan kecintaan kalian kepada dunia seperti kecintaan musuhmu kepadanya. Allah Ta'ala tidak akan menolong suatu kaum, kecuali karena kebenaran niat mereka. Sebelum ini aku telah memberitahukan bahwa satu orang dari mereka itu sama nilainya dengan seribu orang sejauh aku ketahui, kecuali jika mereka telah berubah dengan sesuatu yang menjadikan kalian berubah."

"Jika surat ini telah sampai di tanganmu, maka bicaralah di hadapan pasukanmu dan semangatkanlah mereka untuk perang melawan musuh. Doronglah mereka agar tetap bersabara dan menjaga kebersihan niat. Yakinlah mereka dengan empat orang tadi, dan perintahkanlah mereka semuanya agar serentak dalam bertempur sepreti satu orang. Hendaklah kalian melakukan serbuan sesudah siang hari Jum'at, karena saat itu merupakan waktu turunnya rahmat dan waktu dikabulkannya doa. Hendaklah mereka memohon kepada Allah agar memperoleh kemenangan atas musuh mereka". Wallahu'alam.
Read More..

Kamis, 09 Februari 2012

Antara Kirim DOA & Kirim PAHALA

Kita kerap berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala kepada orang yang telah meninggal dunia. Parahnya masalah yang sering kita telan mentah ini seringkali menjadi titik perbedaan antara berbagai kelompok masyarakat. Dan tidak jarang menjadi bahan perseteruan yang berujung kepada terurainya benang persaudaraan.

Read More..

Beginilah Cara Mencintai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam

Mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam termasuk ushul iman (pokok keimanan) yang bergandengan dengan cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla. Allah telah menyebutkannya dalam satu ayat dengan menyertakan ancaman bagi orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada kerabat, harta, negara serta lainnya daripada cinta kepada keduanya.Allah Ta'ala berfirman,

قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

"Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik." (QS. Al-Taubah: 24)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa'di dalam Tafsirnya Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsiir Kalaam al-Mannan berkata, "Dan ayat yang mulia ini adalah dalil paling agung menunjukkan wajibnya mencintai Allah dan Rasul-Nya, mendahulukannya atas kecintaan segala sesuatu. Juga menunjukkan ancaman keras dan kebencian sangat atas orang yang lebih mencintai salah satu dari yang telah disebutkan daripada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya."

Kemudian Syaikh Sa'di menyebutkan tanda-tandanya, "Adalah apabila hadir padanya dua perkara yang bertentangan. Salah satunya dicintai Allah dan Rasul-Nya dan tidak disukai oleh jiwanya. Sementara yang lain disukai dan diinginkan oleh jiwanya. Tapi ia mengesampingkan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Atau ia menguranginya. Maka jika ia mengutamakan apa yang disuka oleh nafsunya atas apa yang Allah cintai, hal itu menunjukkan bahwa ia berlaku zalim dan meninggalkan apa diwajibkan atasnya."

Keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali dengan mencintai utusan Allah kepada mereka, yaitu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan membantunya. Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan seorang mukmin.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut Ibnu Baththal, makna hadits ini adalah orang yang sempurna imannya pasti tahu bahwa hak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lebih utama baginya daripada hak bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. Karena melalui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kita terselamatkan dari neraka dan diselamatkan dari kesesatan.

Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan membantunya. Maka Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan seorang mukmin.
Ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menggambarkan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan menempatkan posisi cintanya kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menafikan kesempurnaan imannya hingga dia menjadikan cintanya kepada beliau di atas segala-galanya.

Maka wajib mendahulukan dan mengutamakan kecintaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atas kecintaan kepada diri sendiri, anak, kerabat, keluarga, harta, dan tempat tinggal serta segala sesuatu yang sangat dicintai manusia.

Memang setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, namun klaim tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti sunnahnya), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Karena berittiba' kepada beliau merupakan tuntutan dari keyakinan bahwa beliau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Beliau dijadikan sebagai suri teladan yang harus ditiru, dicontoh, dan diikuti dalam perjalann untuk ke surga.

Allah Ta'ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الآخِر

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. al-Ahzab: 21)

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan agar mengambil setiap yang beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam berikan dari urusan dien ini dan meningalkan apa yang beliau larang.

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr: 7)

Hal tersebut karena beliau tidak berbicara tanpa bimbingan wahyu dan menuruti hawan nafsu, "Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)," QS. Al-Najm: 3-4)

Sehingga seorang pecinta Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam akan membenarkan setiap yang beliau beritakan, mentaati apa yang beliau perintahkan, meninggalkan apa yang beliau larang, dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.

Allah Ta'ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 31)

Jujurnya orang yang beriman kepada Allah, mengharapkan kecintaan dan ridha-Nya serta dimasukkan ke surga-Nya adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam semua keadaannya, dalam semua perkataan dan perbuatannya, pada persoalan pokok agama dan cabang-cabangnya, dalam batin dan dzahirnya. Maka siapa yang mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam itu menunjukkan benarnya pengakuan cinta kepada Allah Ta'ala.

Al Qadli 'Iyadh rahimahullah, berkata: "Di antara bentuk cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariahnya, berangan-angan hidup bersamanya, . . . "

Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, menyebutkan bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan, sebagai firman Allah Ta'ala:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku." (QS. Ali Imran: 31)

Karenanya klaim cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran beliau. Namun, perilakunya banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Wallahu Ta'ala A'lam

Sumber www.voa-islam.com
Read More..

Sejarah Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam

Setiap muslim wajib mencintai Nabinya, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Mencintai beliau tidaklah seperti mencintai manusia selainnya. Karena mencintai beliau termasuk pokok ajaran dien dan pondasi dasar keimanan. Bahkan kita menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai bagian dari ibadah yang agung. Kita beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai dan memuliakannya.Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala,

فَالَّذِينَ آَمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-A'raf: 157)

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ

"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri." (QS. Al-Ahzab: 6)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Dan demi Zat yang jiwaku berada di tangn-Nya (Demi Allah), tidaklah beriman salah seorang kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada diirnya, hartanya, anaknya, dan manusia seluruhnya." (HR. Al-Bukhari)

Di dalam al-Shahih disebutkan, Amirul Mukminin Umar bin al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu berkata: "Wahai Rasulullah, demi Allah sungguh engkau adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku." Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya, "Tidak, wahai Umar, sehingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Lalu Umar berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah sungguh engkau adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu sehingga daripada diriku sendiri." Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyahut, "Sekarang (baru benar) wahai Umar."

Maka dari sini diketahui, mencintai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bukan urusan nomor dua atau suatu pilihan, yakni jika seseorang mau mencintainya maka ia boleh mencintainya dan jika tidak mau maka tidak apa-apa. Tetapi mencintai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah kewajiban atas setiap muslim yang menjadi inti keimanan. Kecintaan kepada beliau ini haruslah lebih kuat daripada kecintaan terhadap apapun, sampai kepada diri sendiri.

Sedangkan bukti kecintaan kepada beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah dengan berittiba’ (mengikuti sunnahnya), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Mengambil setiap yang beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam berikan dari urusan dien ini dan meningalkan apa yang beliau larang. Sehingga seorang pecinta Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam akan membenarkan setiap yang beliau beritakan, mentaati apa yang beliau perintahkan, meninggalkan apa yang beliau larang, dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.

Allah Ta'ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 31)

Al Qadhi 'Iyadl rahimahullah, berkata: "Di antara bentuk cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariahnya, berangan-angan hidup bersamanya, . . . "

Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, menyebutkan bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan, sebagai firman Allah Ta'ala:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku." (QS. Ali Imran: 31)

Karenanya klaim cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran beliau. Di mana hal itu tidak pernah dilakukan oleh umat terbaik yang telah membuktikan kecintaan kepada beliau dengan sebenar-benarnya. Mereka korbankan jiwa, raga, dan apa saja yang mereka miliki untuk mendukung Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Maka jika kebenaran cinta kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah dengan memperingati dan merayakan hari kelahirannya, pastinya para sahabat akan lebih dulu mengerjakannya. Jika merayakan maulid adalah memiliki pahala besar tentu para sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam akan lebih dulu mengawalinya. Tidak ada generasi yang lebih rakus kepada kebaikan dan lebih kuat kecintaan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam daripada orang-orang beriman yang pernah melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan pernah hidup bersamanya.

Sejarah Peringatan Maulid Nabi

Dalam catatan sejarah, motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam -yaitu pengikut mazhab Bathiniyyah- adalah tidak didasari rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.

Pelopor pertama peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H.

Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.

Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun. Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).

Fakta sejarah, peringatan maulid tidak ditemukan pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan masa tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai generasi terbaik umat ini. Sehingga menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.

Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.

Keabsahan peringatan maulid Nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al-Quran dan al-Sunnah, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah. Wallahu Ta'ala A'lam.

Sumber www.voa-islam.com
Read More..

Rabu, 08 Februari 2012

Jawaban untuk ''4 Alasan Pembolehan Peringatan Maulid Nabi''

Ditilik dari sisi histori, perayaan peringatan maulid (hari kelahiran) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam merupakan produk peradaban dan budaya Syi'ah. Adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah sebagai pelopor pertama perayaan maulid. Yakni pada pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H. Tujuannya, untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk supaya mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.

Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun. Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).

Dan fakta sejarah tak terbantahkan, peringatan maulid tidak ditemukan pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan masa tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai generasi terbaik umat ini. Sehingga menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.

Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.

Keabsahan peringatan maulid Nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al-Quran dan al-Sunnah, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah.

Hujjah Pendukung Peringatan Maulid


Berikut ini beberapa dalil yang dijadikan dasar legitimasi pembolehan perayaan peringatan maulid oleh pihak yang mendukungnya, juga jawaban atasnya:

Pertama: Sikap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura. Puasa tersebut adalah ungkapan syukur kepada Allah 'Azza wa Jalla atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pun menyerukan untuk berpuasa pada hari tersebut. Sedangkan peringatan maulid Nabi, menurut Ibn Hajar dan as-Suyuti merupakan ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam ke muka bumi.

Hujjah ini ditolak oleh ulama lainnya. Mereka menganggapnya sebagai alasan yang dipaksakan, mengingat dasar suatu ibadah adalah adanya dalil yang memerintahkannya dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bukan pada logika, analogi dan istihsan.

Puasa 'Asyura termasuk sunnah yang telah dipraktikkan dan diserukan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sedangkan peringatan maulid tidak pernah dilakukan apalagi diserukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Sebaliknya, beliau telah mewanti-wanti ummatnya dari membuat-buat bid'ah, seperti dalam sabdanya, "Jauhilah amalan yang tidak aku contohkan (bid'ah), karena setiap bid'ah sesat." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Benar bahwa kita dituntut untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan nikmat terbesar yang tercurah pada umat ini adalah diutusnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai seorang rasul, bukan saat dilahirkannya. Karenanya, Al Qur'an menyebut pengutusan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai nikmat,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

"Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri." (QS. Ali Imran: 164).

Ayat ini sama sekali tidak menyinggung kelahiran beliau dan menyebutnya sebagai nikmat. Seandainya peringatan tersebut dibolehkan, seharusnya yang diperingati adalah hari ketika beliau dibangkitkan menjadi nabi, bukan hari kelahirannya. Lagi pula, status Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mensyariatkan puasa Asyura' berbeda dengan status umatnya. Beliau adalah musyarri' (pembuat syariat), adapun umatnya hanya muttabi' (pengikut), sehingga tak dapat disamakan dan dianalogikan dengan beliau.

Dan sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, sebab mereka adalah orang-orang yang pandai bersyukur, sangat cinta pada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan sangat antusias mengerjakan berbagai kebaikan.

Hal yang juga mengundang tanya, mengapa ungkapan rasa syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam hanya sekali dalam setahun, 12 Rabi’ul Awwal saja? Bukankah bersyukur kepada Allah, mengagungkan dan mencintai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dituntut setiap saat dengan menaati dan selalu ittiba’ pada sunnahnya?

Kedua: Nabi memeringati hari kelahirannya dengan berpuasa.


Sebagian beralasan dengan puasa seninnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang merupakan hari kelahirannya. Ketika beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam ditanya mengenai puasa Senin, beliau pun menjawab, “Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bolehnya memeringati hari kelahirannya.

Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah puasa pada tanggal yang diklaim sebagai kelahirannya, 12 Rabi'ul Awwal. Yang beliau lakukan adalah puasa pada hari Senin. Seharusnya kalau ingin mengenang hari kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan dalil di atas, maka perayaan maulid diadakan tiap pekan, bukan sekali setahun.

Selain itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga tidak berpuasa hanya pada hari Senin setiap pekan, tapi juga hari Kamis. Alasan beliau, "Keseluruhan amalan diperhadapkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis sehingga aku senang amalanku diperhadapkan kepada Allah sedang aku dalam keadaan berpuasa." (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).

Sehingga berdalih dengan puasa Senin tanpa hari Kamis termasuk pemaksaan dan dibuat-buat. Dan kalau alasan tersebut dapat diterima, mestinya peringatannya dilakukan dalam bentuk puasa, bukan berfoya-foya dan makan-makan.

Ketiga: Peringatan maulid Nabi dianggap sebagai bid’ah hasanah (bid'ah yang baik). Anggapan ini lahir dari klasifikasi sebagian ulama terhadap bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah sayyi'ah (jelek) atau dhalalah (sesat).

Alasan ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa peringatan maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak dapat diterima sebagai bid'ah hasanah, karena dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan diyakini oleh sahabat adalah setiap bid’ah sesat.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim).

Ibnu Mas’ud Radliyallah 'Anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Al-Thabrani dan al-Haitsami).

Abdullah bin ‘Umar radliyallah 'anhu menyatakan, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Al-Ibanah al Kubra libni Baththah, 1/219).

Keempat: Peringatan Maulid merupakan salah satu sarana untuk lebih mengenal sosok Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang pentingnya mengenal sosok Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak menerima suatu bid'ah dipoles menjadi sarana kebaikan, karena tujuan yang baik tidak dapat dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara. Lagi pula, mengenal sosok beliau tidaklah pantas dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam melalui natalan. Padahal Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka." (HR. Ahmad dan Abu Dawud serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Mengenal sosok Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan membaca dan mengkaji sirah, biografi dan sunnah beliau seharusnya dilakukan sepanjang waktu, sebagaimana para sahabat mengajarkannya kepada anak-anak mereka setiap waktu.

Seharusnya cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mengikuti sunnah-sunnah beliau, bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Wallahu Ta’laa A’lam

Sumber www.voa-islam.com
Read More..

Selasa, 07 Februari 2012

Kenapa Harus Anak Kecil?

Seorang anak kecil masih berusia yang dididik secara kaffah keislamannya mulai dari 8 tahun membuat kita semua iri, kenapa bukan kita saja yang dilahirkan menjadi anak kecil tersebut? Seorang anak kecil yang diambil lalu dididik langsung oleh seorang manusia paling fenomenal di muka bumi, sosok manusia yang namanya paling banyak disebut, Rasulullah, benar-benar membuat kita iri. Khalifah keempat setelah Abu Bakar, Umar, dan Utsman ini merupakan satu-satunya anak kecil saat itu yang mendapatkan bimbingan langsung dari Rasulullah. Membuat sebuah halaqah kecil bersama Abu Bakar dan Zaid bin Haritsah tidak membuat dia patah arang dalam mempelajari Dien yang paling tinggi ini.

Kenapa kok harus anak kecil yang langsung dididik Rasulullah? Kok bukan hanya orang dewasa saja yang dididiknya sehingga tidak repot-repot memahamkan sesuatu yang susah untuk dipahami seorang anak kecil. Namun semua yang terjadi dan semua yang ditentukan oleh Rasulullah pasti memiliki pertimbangan sendiri.

Jawaban itu muncul, terjawablah sudah pertanyaan kenapa Rasulullah mendidik anak yang masih kecil. Jawaban itu muncul ketika anak kecil yang masih termasuk sepupu Rasulullah ini, Ali bin Abi Thalib, diangkat sebagai Khalifah Islam ke empat. Ternyata Rasulullah sedang mempersiapkan seorang pemimpin sepeninggal kaum-kaum yang tua. Oleh karena itu beliau mengajak sang Ali kecil untuk menuntut ilmu islam bersamanya.

Rencana strategi Rasulullah sudah difikirkan sejak beliau membangun ummat ini dari serpihan-serpihan kecil, namun sekarang sudah terangkai menjadi bangunan megah yang meliputi seluruh alam semesta.

Seperti itulah seharusnya dakwah saat ini, mempersiapkan generasi muda untuk dakwah ke depannya, kalau bukan pemuda yang mengisi kancah dakwah, lalu siapa lagi? Tidak ada salahnya jika pemuda saat ini perlu diperbaiki, jangan malah ditambahi rusak karena melihat lingkungan yang tidak kondusif sehingga keluar perkataan sudah terlanjur atau susah dirubah. Percayalah bahwa yang merubah itu semua Allah, jadi kita hanya bisa berusaha dan berdoa agar Allah memberikan hidayah.

Islam dapat tegak lagi kalau pemudanya mampu untuk bangkit seperti yang terjadi di zaman Rasulullah. Ketika Islam dibendung dengan kuasa tirani, maka semakin banyak jalan yang ditempuh oleh Islam. Ibarat air yang sedang dibendung, semakin tinggi bendungan, maka semakin tinggi pula air itu. Namun ketika sudah tidak tahan lagi, maka air itu akan mencari jalan lain, yaitu berubah wujud menjadi uap yang nantinya akan turun pula menjadi air, namun tempat turunnya akan lebih melebar dan banyak. Seperti itulah Islam, semakin dibendung, semakin banyak pula penyebarannya.

Masih ingatkah dengan kasus pembakaran Al-Quran yang dilakukan di Amerika Serikat? Ketika itu ummat Islam sangat tercabik-cabik atas pemberitaan tersebut. Namun Allah berkata lain, dengan adanya pembakaran tersebut, banyak orang Eropa yang heran dengan isi atau kandungan Al-Quran, lalu mereka mencari tahu, dan ternyata.. Subhanallah. Ada hidayah dibalik itu semua. Tidak sedikit dari mereka yang menyatakan keislamannya. Seperti itulah Islam.

Perjuangan menegakkan dien ini ibarat matahari yang sedang menyinari di siang yang terik, terang benderang seakan-akan tidak akan pernah padam, menyinari seluruh permukaan bumi. Bergeraklah sehingga kemenangan itu dapat direbut, jangan hanya berdiam diri, karena orang-orang kafir sangat menantikan kediaman kita dalam mendukung kebenaran serta mengusung haq.

Sumber www.fimadani.com
Read More..

Senin, 06 Februari 2012

Tidak Ada Amal yang Bisa Menandingi Jihad

Allah menjadikan jihad Fi Sabilillah dengan harta dan jiwa sebagai harga yang pantas untuk memperoleh surga. Karena tidak ada amal yang lebih membutuhkan kesungguhan dan pengorbanan besar melebihi jihad. Di mana seorang mujahid menyerahkan nyawa dan hartanya demi tingginya kalimat Allah dan tegak agama-Nya.

Allah Ta'ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. Al-Taubah: 111)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ () تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ () يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ () وَأُخْرَى تُحِبُّونَهَا نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Shaff: 10-13)

Menjawab pertanyaan Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'Anhu perihal amal yang memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyampaikan kepadanya puncak amal Islam, yakni jihad fi sabilillah.

رَأسُ الأمْرِ الإسلامُ ، وعَمُودُه الصَّلاةُ ، وذِرْوَةُ سَنامِهِ الجهاد

"Pokok urusan adalah Islam, tiangnya itu shalat, sedangkan puncaknya adalah jihad." (HR. Al-Tirmidzi)

Dalam redaksi lainnya, Muadz bin Jabal mengatakan, "Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pada perang Tabuk, lalu beliau bersabda: "Jika kamu mau akan kuberitahukan kepadamu tentang pokok urusan, tiangnya, dan puncaknya?" Aku menjawab, "Tentu saja mau wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Adapun pokok urusan adalah Islam. Sementara tiangnya adalah shalah. Sedangkan puncaknya adalah jihad."

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyerupakan Islam dengan seekor unta. Karena unta merupakan kendaraan yang bisa menghantarkan seseorang ke tempat yang dikehendakinya. Begitu juga Islam, ia menghantarkan seorang muslim dalam perjalanan duniawi kepada tempat yang terindah yang ditujunya, yakni surga. Lalu beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyerupakan kepala unta dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan hampir setiap orang memungkinkan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagaimana seseorang bisa mencapai kepala unta dengan memegang atau melihatnya. Hal ini berbeda dengan jihad yang diserupakan dengan punuk unta, bagian tertinggi darinya. Tidak setiap orang bisa sampai kepadanya kecuali orang yang tinggi. Begitu juga jihad tidak direngkuh kecuali oleh orang mukmin yang utama.

Makna lain diserupakannya jihad dengan punuk unta, karena ia adalah bagian tertinggi dari unta. Tak ada anggota badan unta yang sepadan tingginya dengan punuknya. Begitu juga jihad, tak ada amal dalam Islam yang sepadan dengannya.

Bisa juga dipahami, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyerupakan jihad dengan punuk unta karena siapa yang sampai di atas punuk unta maka ia telah menguasai seluruh anggota tubuh unta tersebut dan mengendalikannya. Begitu juga jihad, siapa yang telah Allah karuniakan kesempatan berjihad, seolah, Allah telah memberikan kepadanya semua keutamaan yang ada dalam Islam. Hal ini dikarenakan seorang mujahid tetap diberi pahala jihad dalam tidurnya, perjalannya, capek dan lelahnya, lapar dan hasunya, dan pahala dalam setiap gerakannya. Sehingga tepatlah jawaban Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada seseorang yang bertanya kepadanya perihal amal yang bisa menandingi jihad, "Aku tidak mendapatkannya."

Dari Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan berkata, ‘Ya Rasulallah, tunjukkan kepadaku satu amal yang menyamai jihad?’ Beliau menjawab, ‘Aku tidak mendapatkannya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Apakah kamu sanggup, apabila seorang mujahid keluar lalu kamu masuk ke dalam masjidmu kemudian kamu shalat tanpa berhenti dan berpuasa tanpa berbuka?! Ia menjawab, ‘Siapa yang sanggup melakukan itu wahai Rasulallah?’" (HR. al-Bukhari)

Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: "Wahai Rasulullah, Amalan apakah yang (pahalanya) sebanding dengan Jihad fi Sabilillah?” beliau menjawab, "Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya."

Mereka (para sahabat) mengulangi pertanyaan tersebut dua atau tiga kali, dan jawaban beliau atas setiap pertanyaan itu sama, "Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya." Kemudian setelah yang ketiga beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى

"Perumpamaan seorang mujahid Fi Sabilillah adalah seperti orang yang berpuasa yang mendirikan shalat lagi lama membaca ayat-ayat Allah. Dan dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya, sehingga seorang mujahid fi sabilillah Ta’ala pulang." (Muttafaq 'Alaih)

Subhanallah!! Para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tentang suatu amal yang bisa menyamai/menyerupai jihad dalam pahalanya. Lalu beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, bahwa kalian tak akan sanggup mengerjakan amal yang menyamai jihad. Merasa tidak puas, mereka mengulangi pertanyaan tadi. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab dengan jawaban yang sama. Lalu beliau menerangkan alasannya, bahwa perumpamaan seseorang yang sedang berjihad itu seperti orang yang beribadah kepada Allah; ia puasa di siang harinya dan tak pernah berbuka, berdiri shalat pada malam harinya tanpa capek dan melemah. Sehingga dari sini para sahabat Radhiyallahu 'Anhum tahu, kenapa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepada mereka: "Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya."

Ibnu al-Hajar rahimahullah berkata dalam mengomentari hadits di atas, "Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyerupakan kondisi orang yang berpuasa dan berdiri shalat yang tak berhenti barang sesaat dari beribadah sehingga pahalanya terus mengalir. Begitu juga seorang mujahid tidak menyia-nyiakan dari waktunya tanpa pahala." (Dinukil dari Fath al-Baari)

Imam al-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim berkata, "Makna al-Qanith di sini adalah al-Muthi' (orang yang taat). Dan dalam hadits ini diterangkan agungnya keutamaan jihad. Karena shalat, puasa, dan membaca ayat-ayat Allah adalah amal-amal yang paling utama. Dan beliau menjadikan seorang mujahid seperti orang yang tak terputus sebentar saja dari semua itu. Dan sudah maklum, tak seorangpun yang mampu melakukannya. Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya."

Ibnul Hajar rahimahullah berkata lagi, "Ini merupakan keutamaan nyata bagi seorang mujahid Fi Sabilillah yang menuntut tidak ada sesuatu dari amal-amal (dalam Islam) yang menandingi jihad." (Fathul Baari: 6/7)

Al-Qadhi 'Iyadh rahimahullah berkata: hadits bab ini menerangkan keagungan urusan jihad, karena puasa dan selainnya yang telah disebutkan sebagai bagian dari Fadhail A'mal telah disamai oleh jihad sehingga semua keadaan seorang mujahid dan aktifitasnya yang mubah menyamai pahala orang yang semangat dalam shalat dan lainnya. Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Laa Tastathii'u Dzalika (kalian tidak akan sanggup mengerjakannya)." (Dinukil adri Fath al-Baari: VI/5)

Bagaimana keutamaan ini tidak direngkuh oleh mujahid, padahal Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyerupakan kondisinya sepertri orang yang berpuasa dan berdiri shalat yang setiap saat mengalir pahalanya dalam setiap gerakan dan diamnya. Wallahu Ta'ala A'lam

Sumbger www.voa-islam.com
Read More..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...